Agar tidak dimanfaatkan? Apakah selamanya seperti itu?


Bismillah.

Saya pikir, mengatakan 'tidak' di sini—bagi yang menerapkannya—bermaksud untuk menyelamatkan, menyayangi, dan mencintai diri sendiri. Dimanfaatkan adalah sesuatu yang tidak adil, yang sepertinya bagi sebagian orang.

Saya pikir, itu adalah pandangan yang sempit tentang 'dimanfaatkan', dan 'berkata tidak'. O, iya. Mungkin maksud saya belum jelas.

Jika di samping kita ada seseorang yang kesannya selalu meminta bantuan tanpa berpikir mengenai kemaslahatan orang yang ia mintai bantuan, atau bisa dikatakan ia meminta tolong—ditambah lagi orang lain yang juga meminta hal serupa—yang kita benar-benar kewalahan dan rasanya kepala mau pecah, yang kita kenal dialami oleh seseorang yang tidak enakan, hingga kata 'tidak'—bermaksud menolak—jarang keluar sebagai jawaban mereka.

Apakah itu adalah cara menyelamatkan diri sendiri? Terlebih lagi: mencintai diri sendiri? Apa yang lebih baik dari yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ridha-i? 

Mencintai tidak selamanya memberikan apa yang ia inginkan. Kecuali untuk apa yang Allah Ta'ala inginkan—ridha-i. Allah Ta'ala pun telah memberi tahu bahwa permintaan hamba-Nya tidak selamanya baik baginya, dan menolaknya—untuk kebaikan hamba tersebut sendiri—adalah bentuk cinta-Nya!—hal yang begitu mudah dipahami.

Allah Ta’ala telah berfirman,

و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Dengan membantu urusan orang lain, Allah Ta'ala pun akan memudahkan urusan kita juga. 

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرً

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. 

Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” 

(HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Cukuplah ini menjadi penenang di kala kekhawatiran akan suatu urusan melanda kita. Saya rasa, tulus membantu orang lain akan membuat diri tenang, karena yakin pada janji Allah Ta'ala sebagaimana pada hadits yang telah disebutkan di atas.

Membuat orang lain bahagia, padahal kita mampu, kenapa tidak? Baiklah, jika memang kita berkata 'tidak' karena merasa tidak mungkin untuk bisa membantu urusannya. Namun, jika hanya karena 'jangan sampai keterusan dan berlanjut menjadi orang yang dimanfaatkan', lantas kita terhalang dari perbuatan baik yang di-ridha-i Allah ini.

Tulisan lain: Rekomendasi Kanal YouTube yang Mengajarkan Bahasa Arab

Bayangkan jika kita sebagai dia yang meminta bantuan, lantas tidak ada yang mengatakan 'ya'. Prasangka buruk pada saudara kita pun bisa mendominasi, kebaikannya seakan tak tersisa di ingatan, karena ketidakberadaanya saat dimintai bantuan—padahal diri pun belum melihat lebih jauh lagi mengenai sikap sendiri saat orang lain meminta bantuan. 

Ucapan terima kasih orang lain belum begitu membekas sebagai sesuatu yang membahagiakan. Atau mungkin sebaliknya—justru diri sendiri yang belum membiasakan ucapan terima kasih kepada orang lain. Entahlah, ucapan itu begitu spesial. Yang menerima ucapan akan merasa dihargai dan yang memberi ucapan tentulah merasa bersyukur. 

Masing-masing menerima kebahagaian dengan versi yang berbeda—yang mengucapkan bahagia karena dibantu hajatnya, yang diberi ucapan bahagia karena memandang ucapan itu sebagai cermin kebaikan yang telah dia lakukan, lantas semangat melakukan hal yang sama di masa mendatang. Saya pikir, membuat orang lain bahagia juga akan membuat diri bahagia.

Membantu orang lain karena didasari oleh motivasi iman—apa yang lebih baik daripada ini dibandingkan indikator-indikator sebelumnya? Adalah menakjubkan membuat Allah Ta'ala senang karena menolong sesama Muslim dalam kebaikan, yang bisa menjadi sebab mengundang pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta'ala.

__

Jazakumullahu khairan telah menyempatkan diri membaca tulisan ini. Mohon maaf atas kesalahan saya dalam menyusunnya—semoga Allah Ta'ala maafkan. Adapun manfaat datangnya dari Allah Ta'ala, dan kesalahan datangnya dari diri pribadi. Mohon koreksinya jika berkenan. Sekali lagi, syukran, ya. Barakallahu fikum.